Thrifting menjadi salah satu tren yang kuat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan anak muda, penjual online, dan pelaku UMKM. Namun, di tengah popularitasnya, muncul berbagai pertanyaan mengenai legalitasnya, apakah thrifting sebenarnya dilarang? Kenapa ada penertiban di beberapa daerah? Apakah marketplace seperti Shopee dan Tokopedia masih memperbolehkannya?
Pembahasan ini bukan hanya soal gaya berpakaian dan harga terjangkau, tetapi menyentuh persoalan ekonomi rakyat, regulasi negara, hingga sumber pemasokan barang. Di sinilah dilema “berdaya vs berdampak” terjadi thrifting memberi penghidupan bagi banyak pelaku kecil. Namun, sebagian praktiknya juga dapat merugikan industri tekstil dalam negeri jika tidak ditata dengan benar.
Fashion dan Hiburan Jadi Primadona Baru di Keranjang Belanja Online Indonesia

Thrifting dan Nafas Ekonomi Akar Rumput
Bagi banyak penjual kecil, thrifting bukan sekadar tren ia adalah sumber nafkah. Banyak toko online di Instagram, TikTok, Shopee, hingga pasar fisik, dibangun dari modal yang sangat terbatas. Mereka memulai dengan menjual baju bekas pakai pribadi, produk preloved, atau barang bekas lokal yang masih layak pakai. Harga yang terjangkau membuat thrifting semakin digemari pembeli dari berbagai kalangan, terutama pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda.
Dalam konteks ini, thrifting berperan sebagai salah satu ruang berdaya, ruang yang memungkinkan orang menghasilkan pendapatan dari sumber daya yang tersedia, dengan risiko usaha yang rendah. Bahkan, banyak pelaku UMKM kecil menjadikan thrifting sebagai pintu masuk untuk belajar bisnis digital, mulai dari fotografi produk, copywriting, hingga cara membangun komunitas pelanggan.
Namun, di balik peluang ekonomi yang kuat ini, ada sisi lain yang perlu dipahami. Jika barang yang dijual merupakan hasil impor pakaian bekas ilegal, maka perputaran ekonomi tersebut berpotensi merugikan negara, mengganggu industri tekstil lokal, dan tidak melalui mekanisme bea cukai yang seharusnya.
Yang Dilarang dan Yang Masih Boleh: Menarik Garis Batas dengan Jelas
Salah satu masalah terbesar dalam isu thrifting adalah kesimpangsiuran informasi. Banyak orang mengira bahwa seluruh thrifting dilarang, padahal yang dilarang adalah impor pakaian bekas dalam jumlah besar. Pengaturan ini telah lama tercantum dalam larangan impor barang bekas karena alasan kesehatan, higienitas, dan perlindungan industri lokal.
Yang dilarang:
- Kontainer pakaian bekas impor yang masuk lewat jalur gelap.
- Barang bekas dari luar negeri yang tidak melalui bea cukai resmi.
- Pakaian bekas yang tidak memiliki kejelasan asal.
Yang diperbolehkan:
- Preloved pribadi (barang yang memang sudah dimiliki dan dijual kembali).
- Barang thrift lokal, yaitu barang yang memang sudah beredar atau digunakan di dalam negeri.
- Penjualan di marketplace selama sumber barang bukan hasil impor ilegal.
Itulah mengapa Shopee, Tokopedia, dan platform e-commerce lain tidak melarang thrifting secara umum. Mereka hanya melarang listing produk yang terindikasi dari impor pakaian bekas ilegal. Artinya, toko yang menjual barang preloved lokal tetap bisa berjualan secara legal.
Pemerintah Tidak Ingin Mematikan UMKM yang Dibenahi Adalah Rantai Pasoknya
Pemerintah tidak ingin menutup ruang berdaya ekonomi rakyat. Yang ingin dibenahi adalah rantai pasokan yang tidak jelas, yaitu jalur impor gelap yang merugikan negara dan menggerus daya saing industri tekstil lokal.
Kerugian negara akibat impor gelap pakaian bekas mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Namun, penting untuk disadari bahwa masalah ini tidak berawal dari penjual kecil. Penjual thrift rumahan, kios pasar, atau penjual online hanyalah ujung rantai paling akhir. Mereka bukan pihak yang mendatangkan kontainer dari pelabuhan.
Karena itu, jika penindakan hanya menyasar penjual kecil, maka yang terjadi adalah ketidakadilan penegakan. Fokus pembenahan seharusnya diarahkan ke:
- Importir besar yang memasukkan pakaian bekas ilegal.
- Jalur logistik gelap yang tidak tercatat bea cukai.
- Sistem pengawasan di pelabuhan dan jalur distribusi.

Peran Ekosistem Pendamping UMKM
Dalam situasi ini, edukasi menjadi sangat penting. Banyak pelaku thrift yang sebenarnya ingin berjualan dengan cara legal dan berkelanjutan, tetapi tidak tahu bagaimana cara memastikan sumber barang yang benar atau bagaimana membangun brand yang tidak bergantung pada barang impor gelap.
Di sinilah ekosistem pembelajaran bisnis seperti Rbiz hadir sebagai jembatan. Rbiz membantu pelaku UMKM memahami:
- Cara memilih pemasok lokal terpercaya.
- Cara membangun toko preloved yang transparan.
- Cara menambahkan nilai, bukan sekadar menjual murah.
- Cara membangun hubungan pelanggan jangka panjang, bukan sekadar mengikuti tren musiman.
Pendampingan seperti ini membantu thrifting tidak hanya menjadi aktivitas jual beli, tetapi model bisnis yang lebih etis, berdaya, dan legal.
Mencari Jalan Tengah: Menata Tanpa Memutus Nafkah
Melihat keseluruhan persoalan ini, thrifting tidak bisa dilihat sebagai hitam putih. Ia berada di kawasan abu-abu yang perlu diatur dengan hati-hati.
Regulasi diperlukan untuk melindungi industri tekstil nasional dan penerimaan negara. Kelengkapan informasi juga diperlukan agar penjual kecil tidak salah langkah dan pendekatan edukatif diperlukan agar pelaku UMKM bisa tumbuh, bukan dipukul mundur.
Rbiz dan ekosistem pendukung lainnya bisa menjadi ruang belajar untuk memastikan thrifting tetap menjadi ruang hidup yang berkelanjutan bukan sekadar tren sesaat, bukan pula praktik yang merugikan.
Kesimpulan
Thrifting tidak sepenuhnya dilarang; yang dilarang adalah praktik impor pakaian bekas ilegal yang merugikan negara dan mengganggu kesehatan industri tekstil dalam negeri. Sementara itu, penjualan barang preloved lokal, barang bekas pribadi, dan produk yang asal-usulnya jelas tetap sah dan dapat terus menjadi ruang ekonomi yang memberdayakan bagi banyak pelaku usaha kecil. Karena itu, fokus pembenahan seharusnya bukan pada menutup usaha thrifting, tetapi memastikan rantai sumbernya transparan dan legal.
Edukasi dan pendampingan menjadi kunci, termasuk melalui ekosistem belajar seperti Rbiz yang dapat membantu penjual thrift memahami tata kelola usaha yang sesuai hukum, etis, dan berkelanjutan. Bila dilakukan dengan pendekatan yang tepat menguatkan UMKM, menindak importir besar, dan memperjelas regulasi agar thrifting dapat terus menjadi ruang hidup bagi banyak keluarga, sumber kreativitas bagi anak muda, dan bagian dari ekonomi sirkular yang mendukung masa depan yang lebih berkelanjutan.
