
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkap fakta baru yang menggetarkan, dari 103 sampel MBG (Makan Bergizi Gratis) yang diuji di 28 provinsi, tercatat 17 persen di antaranya positif mengandung bakteri berbahaya seperti Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, dan Salmonella. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa akar keracunan massal MBG tidak hanya terjadi di dapur penyaji, melainkan sejak bahan mentah mulai diterima.
Kepala BPOM, Taruna Ikrar menjelaskan bahwa “kontaminasi awal pangan” menjadi salah satu sumber utama masalah. Sebagian besar kasus keracunan berasal dari bahan mentah yang sudah tercemar sebelum proses pengolahan. Ia menambahkan bahwa pertumbuhan bakteri juga diperburuk oleh kondisi suhu dan waktu yang tidak ideal, serta kegagalan dalam pengendalian higiene dan sanitasi di dapur serta fasilitas pengolahan.
Temuan itu menjadi sinyal bahwa sistem pengadaan bahan pangan untuk MBG selama ini masih memiliki celah besar. Jika bahan mentah sudah terkontaminasi, pengolahan terbaik sekalipun bisa gagal mencegah keracunan, terlebih jika distribusi dan penyajian melewati rentang waktu yang panjang.
Pergantian Supplier Bahan Pangan MBG Diduga Picu Keracunan di Sejumlah Daerah

Luasnya Dampak Mencapai 17 Kejadian Luar Biasa di 10 Provinsi
BPOM mencatat 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan MBG yang tersebar di 10 provinsi selama periode awal 2025. Data ini menunjukkan bahwa insiden tersebut bukan fenomena lokal, melainkan tantangan nasional yang menyangkut skala besar dan lintas wilayah.
Kontaminasi awal pada bahan mentah muncul sebagai salah satu titik kritis. Taruna menegaskan bahwa kontaminasi yang terlihat, yaitu ada kontaminasi awal pangan, dengan sumber kontaminasi bahan mentah, lingkungan pengelola, penjamin (yang berarti proses audit bahan baku dan penyimpanan harus diperketat). Selain itu, sebagian dapur penyaji (SPPG) yang bermasalah ternyata baru beroperasi tidak lebih dari satu bulan, yang menunjukkan kurangnya pengalaman dan kesiapan dalam menjaga standar kebersihan dan keamanan pangan.
Ketika bahan mentah sudah berpotensi tercemar, kemudian ditangani oleh dapur dengan protokol kebersihan yang belum mumpuni, maka peluang bagi bakteri berkembang sangat tinggi, apalagi jika makanan didistribusikan dalam kondisi suhu yang tidak terkendali atau waktu pengiriman yang lama.
Implikasi dan Kritik Terhadap Rantai Pasok MBG
Dengan fakta bahwa kontaminasi awal terjadi di bahan mentah, muncul pertanyaan seputar kompetensi dan integritas supplier bahan pangan MBG. Siapa pemasok bahan baku? Apakah mereka menjalani audit dan verifikasi? Bagaimana prosedur kontrol mutu sebelum bahan dilepas ke dapur penyaji?
Transaksi supplier dan distribusi yang tercatat secara manual atau terpisah menjadi kelemahan sistem tradisional yang membuat jejak kualitas sulit ditelusuri. Jika tak ada transparansi di tahap awal, pengawasan menjadi reaktif, bukan preventif.
Kritik juga diarahkan ke kelembagaan pengawasan, BPOM dan instansi terkait baru bertindak setelah terjadi kasus. Beberapa anggota DPR bahkan menyebut bahwa keterlibatan BPOM saat ini masih belum mendalam sejak fase perencanaan dan pengadaan MBG.

Relevansi Solusi Digital dengan Mengintegrasikan Rantai Pasok lewat Platform
Di tengah maraknya kasus ini, kebutuhan akan sistem digital rantai pasok (supply chain transparency) menjadi semakin mendesak. Di sinilah solusi seperti Rbiz bisa bermain peran strategis.
Bayangkan jika setiap supplier bahan pangan MBG terdaftar dalam sistem digital yang memberikan:
- Data verifikasi sertifikasi keamanan pangan dan audit mutu supplier
- Pelacakan batch bahan mentah dari asal hingga gudang
- Catatan waktu penyimpanan, suhu, transportasi
- Dashboard publik agar sekolah, pemerintah daerah, dan masyarakat bisa melihat “supplier mana yang aman”
Dengan model seperti itu, bila terjadi dugaan kontaminasi awal, pelacakan bisa dilakukan cepat dan titik kritis (supplier, gudang, rute distribusi) bisa segera diisolasi. Pergantian supplier atau pemutusan kontrak bisa dilakukan berdasarkan data transparan, bukan asumsi semata.
Beberapa penyedia bahan pangan kini mulai menerapkan sistem digital untuk menjaga keamanan dan transparansi rantai pasok. Rbiz, misalnya, yang berperan sebagai supplier penyedia bahan pangan dengan sistem monitoring kualitas yang ketat. Jika model seperti ini diterapkan dalam program MBG, potensi kontaminasi sejak tahap awal dapat ditekan secara signifikan.
Kesimpulan
Temuan BPOM bahwa kontaminasi awal pada bahan mentah menjadi faktor utama kasus keracunan MBG adalah peringatan keras terhadap seluruh sistem penyediaan pangan sekolah. Karena ketika bahan dasar sudah tersusupi patogen, proses berikutnya menjadi rentan gagal menghasilkan makanan yang aman.
Solusinya tak cukup hanya memperbaiki dapur penyaji. Reformasi harus dilakukan di hulu supplier, audit mutu, penyimpanan, dan distribusi dengan dukungan teknologi seperti Rbiz yang bisa menjadi jembatan penting untuk menjalin transparansi dan kontrol di seluruh rantai pasok pangan MBG.
Dengan data yang bisa dilihat dan diawasi publik, pemerintah, BPOM, dan pihak sekolah memiliki alat preventif, bukan sekadar responsif. Dan di akhirnya, anak-anak sebagai konsumen MBG pantas mendapatkan jaminan keamanan pangan, bukan kekhawatiran.
