Sejak pemerintah meluncurkan program makan bergizi gratis (MBG), satu menu yang paling banyak diperbincangkan bukanlah lauk pauk atau sayuran, melainkan segelas susu program MBG.
Bagi sebagian masyarakat, susu dianggap lambang peningkatan gizi anak sekolah. Namun bagi yang lain, kehadiran susu justru menimbulkan pertanyaan, apakah susu benar-benar menjadi kebutuhan utama di tengah keberagaman budaya makan anak Indonesia?
Kritik publik merebak, terutama di media sosial. Ada yang mempertanyakan merek susu yang dipilih, ada pula yang menyoroti kemungkinan dominasi industri besar dalam rantai pasok. Di sisi lain, pemerintah menegaskan bahwa susu hanyalah salah satu komponen menu MBG yang bertujuan menambah asupan protein hewani bagi anak sekolah.
Bagaimana Kolaborasi Kemenkes dan BPOM Lindungi MBG?

Fakta Gizi di Balik Susu Program MBG
Secara ilmiah, susu memang menjadi bahan pangan yang kaya manfaat. Ia mengandung protein, kalsium, fosfor, serta vitamin D yang mendukung pertumbuhan tulang dan fungsi otak. Dalam banyak studi gizi anak, konsumsi susu terbukti membantu meningkatkan daya tahan tubuh dan konsentrasi belajar.
Kementerian Kesehatan menyebut bahwa susu program MBG tidak dimaksudkan untuk menggantikan makanan utama, melainkan pelengkap agar menu anak sekolah lebih seimbang. Setiap paket MBG diatur agar mengandung karbohidrat, protein hewani, sayur, buah, dan tambahan susu dalam porsi terukur.
Ahli gizi dari IPB University menegaskan bahwa asupan susu mampu menambah 15 – 20% kebutuhan protein harian anak usia sekolah. Dengan kata lain, keberadaan susu di MBG bukan keputusan politis semata, tapi langkah berbasis data gizi nasional.
Namun, di tengah niat baik tersebut, muncul pertanyaan lanjutan, mengapa niat menyehatkan justru memantik perdebatan publik yang begitu luas?
Kebijakan ke Persepsi Menjadi Kontroversi Susu MBG
Kontroversi susu MBG menunjukkan bagaimana sebuah kebijakan pangan bisa berhadapan dengan realitas sosial yang kompleks. Bagi sebagian orang tua, susu adalah minuman bergizi yang modern dan bergengsi. Tapi di banyak daerah, anak-anak tidak terbiasa minum susu karena faktor ekonomi, alergi laktosa, atau kebiasaan makan lokal yang berbeda.
Masalah muncul ketika menu MBG dianggap “dipaksakan” tanpa menyesuaikan kondisi sosial budaya penerima manfaat. Publik mulai bertanya, apakah pemerintah mendengarkan konteks lokal sebelum memutuskan menu?
Di sinilah titik rawan komunikasi publik terjadi.
Sosiolog dari Universitas Indonesia menilai bahwa kontroversi susu MBG bukan semata soal gizi, melainkan soal representasi keadilan sosial. Dirinya menyatakan saat masyarakat merasa tidak terlibat dalam proses kebijakan, setiap keputusan akan tampak seperti instruksi, bukan kolaborasi
Padahal, dalam konteks MBG, pemerintah telah menjelaskan bahwa menu disusun berdasarkan rekomendasi ahli gizi dan uji konsumsi anak di beberapa daerah percontohan. Namun, informasi ini tidak tersampaikan dengan kuat kepada publik sehingga menyebabkan ruang kosong yang akhirnya diisi oleh opini dan asumsi.
Persepsi Publik terhadap Program MBG
Persepsi publik terhadap program makan bergizi gratis sangat beragam. Sebagian menilai program ini sebagai langkah besar negara dalam mengatasi stunting dan gizi buruk, sedangkan sebagian lainnya menyoroti efektivitas implementasi di lapangan.
Beberapa pihak menilai, menu MBG yang melibatkan susu dan bahan impor justru melemahkan potensi pangan lokal. Di media sosial, muncul seruan agar MBG lebih banyak menggunakan sumber protein lokal seperti tempe, tahu, ikan, dan telur.
Namun, para ahli kebijakan pangan berpendapat bahwa MBG seharusnya tidak dilihat sebagai pesaing pangan lokal, tetapi pelengkap. Program ini memiliki dua tujuan utama, yaitu memperbaiki asupan gizi anak dan membangun sistem logistik pangan nasional yang lebih transparan.
Persepsi publik yang beragam sebenarnya wajar, apalagi jika program berskala nasional menyentuh ranah sosial sehari-hari. Tugas pemerintah adalah membangun komunikasi yang terbuka, menjelaskan mengapa susu dipilih, bagaimana bahan disuplai, dan siapa yang memastikan keamanannya.

Transparansi Pangan Dari Dapur SPPG ke Penyedia Bahan
Di balik setiap gelas susu MBG, ada sistem pengawasan ketat yang melibatkan banyak pihak. Pemerintah tidak bekerja sendirian, melainkan menggandeng penyedia bahan pangan yang telah memenuhi standar keamanan dan keterlacakan.
Salah satu di antaranya adalah Rbiz, perusahaan yang berperan sebagai supplier bahan pangan untuk dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), dapur pengolah utama dalam program MBG. Rbiz tidak menyalurkan susu langsung ke sekolah, melainkan memastikan bahan pangan yang dikirim, termasuk produk olahan susu, telah melalui proses verifikasi mutu dan keamanan.
Dengan sistem logistik berbasis digital, Rbiz membantu memastikan setiap bahan yang masuk ke dapur MBG memiliki jejak keterlacakan yang jelas dari produsen hingga tahap distribusi.
Pendekatan seperti ini memperkuat transparansi program makan bergizi gratis, sekaligus menjawab keresahan publik soal keamanan bahan makanan.
Kehadiran Rbiz menjadi contoh bahwa sektor swasta bisa menjadi bagian penting dalam sistem pangan nasional, bukan hanya sebagai pemasok, tetapi sebagai penjaga kualitas dan akuntabilitas.
Susu dan Kepercayaan Publik, Membangun Komunikasi Baru
Kritik terhadap susu MBG sesungguhnya menunjukkan tingginya perhatian masyarakat terhadap isu gizi dan kebijakan publik. Ini bukan semata tanda penolakan, tapi bukti bahwa publik ingin dilibatkan.
Pemerintah kini ditantang untuk membangun komunikasi dua arah, bukan sekadar menjelaskan apa yang diberikan, tetapi juga mendengarkan bagaimana penerima manfaat merasakan dampaknya. Dalam konteks ini, transparansi rantai pasok, data gizi, dan keterbukaan anggaran menjadi bagian penting untuk menjaga kepercayaan publik.
Program makan bergizi gratis bisa menjadi simbol kekuatan sosial jika dikelola dengan partisipatif. Ketika masyarakat tahu dari mana bahan pangan berasal, siapa yang menyuplai, dan bagaimana proses pengawasannya, kepercayaan publik akan tumbuh dengan sendirinya.
Kesimpulan
Kehadiran susu program MBG adalah refleksi bagaimana kebijakan pangan bisa menjadi simbol komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Di satu sisi, susu merepresentasikan upaya serius negara meningkatkan gizi anak sekolah. Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa kebijakan publik selalu membutuhkan kejelasan, partisipasi, dan transparansi agar diterima dengan baik.
Melalui sistem pengawasan yang diperkuat dan keterlibatan pihak swasta seperti Rbiz, program MBG kini tidak hanya bicara soal makanan, tetapi juga tentang bagaimana membangun ekosistem pangan yang aman, transparan, dan dipercaya.
Pada akhirnya, susu bukan sekadar pelengkap menu, melainkan menjadi simbol gizi, simbol kolaborasi, dan simbol kepercayaan yang menjadi fondasi keberlanjutan program makan bergizi gratis di Indonesia.
