MBG Indonesia Lebih Cepat dari Brasil, Tapi Apakah Lebih Siap?
Kabar kedatangan Presiden Brasil ke Indonesia pada Rabu 22 Oktober 2025 untuk meninjau program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi sorotan publik internasional. Brasil, yang selama dua dekade terakhir dikenal sebagai pelopor kebijakan pangan publik lewat program legendarisnya Fome Zero atau Zero Hunger kini justru datang untuk melihat bagaimana Indonesia menjalankan program serupa dalam waktu jauh lebih cepat.
Presiden Prabowo Subianto kerap menyebut perbandingan menarik ini. Brasil membutuhkan 11 tahun untuk menjangkau 40 juta penerima pangan bergizi, sementara Indonesia telah menyentuh 36,7 juta penerima hanya dalam satu tahun. Sebuah capaian besar dalam skala pemerintahan, tapi juga tantangan besar dalam hal kualitas dan keberlanjutan.
Kecepatan selalu tampak mengagumkan, tetapi dibalik angka yang fantastis, muncul pertanyaan mendasar apakah sistemnya cukup siap menanggung beban sebesar itu?
Mengapa Angka 0,0007% Bisa Mengguncang Kepercayaan Publik MBG?

Fome Zero: 11 Tahun Membangun dari Akar Rumput
Brasil memulai Fome Zero pada 2003 di bawah Presiden Luiz Inácio Lula da Silva. Program ini dirancang bukan hanya untuk membagikan makanan, tetapi untuk membangun ekosistem ketahanan pangan berkelanjutan.
Ada empat pilar utama yang menopang program ini:
- Akses terhadap makanan bergizi melalui dapur komunitas dan makanan gratis di sekolah negeri.
- Dukungan terhadap petani lokal, di mana pemerintah membeli bahan pangan langsung dari mereka.
- Transfer tunai bersyarat (Bolsa Família) agar keluarga miskin tetap mengutamakan pendidikan dan kesehatan anak.
- Pendidikan gizi dan partisipasi sosial untuk mendorong kesadaran makan sehat di masyarakat.
Dalam waktu 11 tahun, hasilnya luar biasa. Pada 2014, FAO mencatat Brasil keluar dari peta kelaparan dunia. Namun, pencapaian itu bukan hasil dari percepatan tiba-tiba, melainkan dari proses panjang yang melibatkan masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan lembaga pengawasan publik.
Risiko dan Tantangan yang Dihadapi Brasil
Meski jarang dibahas, Brasil juga menghadapi banyak tantangan di sepanjang jalan. Beberapa laporan lokal mencatat adanya kasus keracunan makanan skala kecil di dapur sekolah dan komunitas, terutama di daerah miskin atau pedalaman yang diakibatkan oleh beberapa hal di antaranya:
- Penyimpanan bahan makanan yang tidak sesuai standar suhu.
- Kontaminasi dari air tidak layak konsumsi.
- Keterlambatan distribusi bahan segar dari petani
Namun, tidak pernah tercatat kasus keracunan massal berskala nasional. Pemerintah Brasil merespons cepat setiap insiden, antara lain dengan:
- Melibatkan chef profesional untuk pelatihan sanitasi dapur
- Mewajibkan audit higienitas rutin oleh badan pengawas kesehatan (ANVISA).
- Memberlakukan sistem keterlacakan pangan berbasis komunitas.
Artinya, Brasil bukan bebas masalah, tetapi memiliki mekanisme tanggapan yang tangguh dan transparan. Setiap kesalahan bukan disembunyikan, melainkan diperbaiki secara sistemik. Inilah pelajaran penting yang bisa diambil Indonesia.
MBG Indonesia: Cepat, Besar, dan Penuh Tantangan
Dalam waktu hanya satu tahun, program MBG Indonesia sudah menjangkau 36,7 juta penerima. Angka yang mencerminkan kesigapan luar biasa pemerintah dalam menjalankan program sosial skala nasional.
Namun, kecepatan ekspansi ini juga membuka ruang risiko baru, ketimpangan kualitas dapur, standar gizi yang belum merata, dan kasus keracunan kecil di sejumlah daerah. Presiden sendiri sempat menegaskan bahwa angka 0,0007% kasus keracunan masih tergolong dalam “koridor kesalahan manusiawi”.
Pernyataan itu faktual, tetapi sekaligus menggarisbawahi satu hal, publik kini lebih sensitif terhadap kepercayaan daripada statistik. Bagi masyarakat, satu anak yang sakit bisa lebih berarti dari sejuta yang kenyang. Dalam konteks inilah, membangun kepercayaan menjadi pekerjaan utama MBG tahun-tahun berikutnya. Percepatan boleh berjalan, tapi pengawasan harus berlari lebih cepat.

Antara Kecepatan dan Ketahanan Sistem
Perbandingan antara Indonesia dan Brasil mengajarkan bahwa kecepatan bukan ukuran utama keberhasilan, melainkan kemampuan menjaga konsistensi kualitas dalam skala besar.
Brasil memerlukan waktu 11 tahun karena membangun sistem dari bawah dengan memperkuat dapur lokal, menciptakan rantai pasok petani, hingga melatih tenaga pengolah. Indonesia, dengan populasi yang jauh lebih besar, memilih jalur cepat dengan membangun ribuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sekaligus.
Langkah ini mengesankan, tetapi membuat tantangan logistik, sumber daya manusia, dan standarisasi pengawasan menjadi lebih kompleks. Apalagi kini pemerintah juga mulai menerapkan aturan jam masak, penggunaan air galon, dan sertifikasi SLHS (Sanitasi Laik Hygiene Sanitasi) kebijakan yang memerlukan kesiapan infrastruktur nyata di lapangan.
Peran Swasta dalam Membangun Kecepatan yang Berkualitas
Di tengah sistem sebesar ini, peran swasta seperti Rbiz menjadi penting untuk menjembatani kecepatan dan kualitas. Rbiz, sebagai salah satu supplier bahan pangan untuk dapur SPPG, berfokus pada keterlacakan bahan dan distribusi yang terkontrol.
Melalui sistem digitalisasi rantai pasok, bahan makanan dapat dipantau mulai dari gudang hingga dapur, sehingga risiko bahan rusak atau kontaminasi dapat ditekan.
Keberadaan Rbiz menjadi contoh bahwa kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta bukan sekadar soal bisnis, tapi bagian dari arsitektur keamanan pangan nasional.
Di titik ini, Rbiz berperan memperkuat sisi yang sering luput dari sorotan, yaitu keandalan logistik dan transparansi mutu bahan baku.
Ketika Dunia Datang untuk Melihat
Kunjungan Presiden Brasil ke Indonesia akan menjadi momen simbolik. Brasil datang bukan hanya karena ingin berbagi pengalaman, tetapi juga untuk melihat bagaimana Indonesia mampu menjalankan program sebesar ini dalam waktu yang begitu cepat.
Namun, kunjungan itu juga menjadi cermin bagi Indonesia sendiri untuk memastikan bahwa apa yang ditunjukkan ke dunia bukan hanya kecepatan, tetapi juga sistem yang tahan uji.
Brasil sudah membuktikan bahwa perubahan sosial membutuhkan waktu. Indonesia kini berkesempatan membuktikan bahwa perubahan cepat juga bisa berkualitas, jika dijalankan dengan pengawasan yang matang dan komitmen jangka panjang.
Kesimpulan
36,7 juta penerima dalam satu tahun adalah capaian luar biasa. Namun sejarah Fome Zero di Brasil mengingatkan tentang keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari berapa banyak yang diberi makan, tetapi seberapa lama sistem itu bisa bertahan tanpa kehilangan kepercayaan publik.
Angka 0,0007% kasus keracunan bisa terlihat kecil di mata birokrat, tetapi besar di hati publik yang kehilangan rasa aman. Dan di situlah tantangan sesungguhnya MBG, menjaga agar program ini bukan hanya cepat, tapi juga dipercaya dan dicintai.
Jika kecepatan bisa diimbangi dengan pengawasan yang kuat, transparansi rantai pasok, dan kolaborasi swasta seperti Rbiz, maka Indonesia tidak hanya bisa menyamai Brasil, tapi mungkin melampauinya bukan dalam angka, tetapi dalam kualitas manusia yang tumbuh darinya.
