Tak Banyak yang Tahu, Ini Peran Ahli Gizi di MBG

Single Post

Polemik pernyataan bahwa “program MBG tak perlu ahli gizi” memicu kegaduhan publik dan kemarahan para profesional kesehatan. Namun, di balik riuhnya reaksi, ada satu hal penting yang jarang dibahas, masyarakat Indonesia sebenarnya belum sepenuhnya memahami apa pekerjaan ahli gizi dan mengapa peran mereka tidak bisa digantikan siapa pun dalam program makan massal seperti MBG.

Selama ini, banyak orang mengira ahli gizi hanya bertugas membuat menu dan menimbang porsi. Padahal, pekerjaan mereka jauh lebih kompleks, menyentuh aspek keamanan pangan, manajemen risiko, psikologi makan anak, hingga perhitungan komposisi gizi yang presisi untuk mendukung tumbuh kembang. Ketika program sebesar MBG menyentuh lebih dari 35 juta anak, ketidakhadiran ahli gizi bukan sekadar kekurangan, tapi celah risiko nasional yang bisa berujung pada masalah kesehatan jangka panjang.

Program makan berskala besar membutuhkan sistem tepat, pengawasan ketat, dan kompetensi profesional. Sebab itu, pernyataan kontroversial tersebut sebenarnya membuka pintu diskusi lebih besar, apa yang sebenarnya dilakukan ahli gizi, dan kenapa peran krusialnya tidak pernah terlihat?

,Bagaimana Kolaborasi Kemenkes dan BPOM Lindungi MBG?

Pekerjaan Ahli Gizi Tak Sekadar Menyusun Menu

Bagi publik, pekerjaan ahli gizi terdengar sederhana, menghitung kalori, menyusun menu seimbang, memberikan anjuran makan. Namun di lapangan, terutama dalam program makan massal seperti MBG, pekerjaan mereka mencakup lebih dari 20 fungsi krusial. Mereka tidak hanya memikirkan “apa yang dimakan”, tetapi juga bagaimana makanan itu aman, layak, dan bergizi untuk ribuan anak setiap hari.

Ahli gizi merancang menu dengan mempertimbangkan usia, aktivitas fisik, kebutuhan protein harian, risiko alergi, akses bahan di daerah tertentu, hingga kemungkinan perubahan cuaca yang bisa mengganggu rantai pasok. Mereka memadukan ilmu nutrisi, food safety, dan manajemen dapur massal yang tidak mungkin hanya dilakukan oleh guru, tenaga sekolah, atau relawan.

Inilah alasan mengapa profesi ini dibangun melalui pendidikan formal dan sertifikasi ketat.

Mengelola Keamanan Pangan: Tugas Berat yang Jarang Diketahui

Salah satu peran terbesar ahli gizi adalah memastikan keamanan pangan. Pada skala sekolah, setiap kesalahan kecil bisa berujung fatal. Kesalahan dalam penyimpanan ayam, kontaminasi silang sayuran, penggunaan air yang tidak steril, atau bahan yang mengandung nitrat berlebih bisa menyebabkan keracunan. Kita sudah melihat sejumlah kasus keracunan MBG terjadi dari masalah ini.

Ahli gizi memahami standar HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), sistem yang digunakan industri makanan besar. Artinya, mereka memetakan titik-titik risiko, mengendalikan suhu makanan, memastikan bahan disimpan sesuai standar, mengecek kualitas air, hingga mengawasi cara kerja petugas dapur agar tidak terjadi kesalahan prosedur.

Bagi publik, pekerjaan ini mungkin “tidak terlihat”. Tapi justru yang tak terlihat itulah yang mencegah anak jatuh sakit.

Mengatur Porsi dan Kandungan Gizi dengan Perhitungan Presisi

Tidak semua anak membutuhkan kebutuhan gizi yang sama. Anak kelas 1 SD tentu berbeda dengan anak SMP yang aktif berlari, atau daerah tertentu yang memiliki kebiasaan makan berbeda. Tanpa ahli gizi, perhitungan porsi menjadi mengambang, terlalu sedikit membuat anak lapar, terlalu banyak membuat makanan terbuang.

Ahli gizi menghitung:

  • Kebutuhan protein hewani dan nabati
  • Kecukupan energi
  • Kadar zat besi untuk mencegah anemia
  • Kebutuhan kalsium harian
  • Rotasi menu agar tidak monoton

Inilah yang menentukan apakah menu MBG sekadar mengenyangkan atau benar-benar mendukung tumbuh kembang.

Mencegah Keracunan: Peran yang Tidak Pernah Tersorot Media

Dalam sistem MBG, risiko keracunan meningkat ketika:

  • Bahan datang tanpa rantai dingin
  • Dapur sekolah tidak memiliki standar kebersihan
  • Petugas tidak terlatih
  • Alat makan tidak steril
  • Bahan tercampur kontaminan

Ahli gizi mengetahui bagaimana mendeteksi potensi masalah sebelum terjadi, mulai dari mengecek kualitas bahan harian, memastikan proses memasak aman, hingga menilai risiko bakteri tertentu. Ketika ahli gizi tidak dilibatkan, celah keracunan semakin besar dan itulah yang sering terjadi di beberapa kasus MBG.

Memastikan Psikologi Makan Anak Dipertimbangkan

Ahli gizi juga memperhatikan preferensi anak, kebiasaan makan daerah, dan faktor psikologis yang mempengaruhi anak mau atau tidaknya menghabiskan makanan. Hal ini penting karena berbagai survei (termasuk KPAI) menunjukkan bahwa banyak anak enggan menghabiskan menu MBG, bukan karena mereka manja, tetapi karena rasa makanan tidak sesuai lidah anak, aroma kurang menarik, tekstur tidak pas untuk usia tertentu, hingga makanan terlihat pucat atau berminyak

Ahli gizi bekerja pada aspek-aspek ini untuk memastikan anak makan dengan senang hati, bukan sekadar “dipaksa menghabiskan”.

Pernyataan “Tak Perlu Ahli Gizi”: Simptom dari Sistem yang Belum Siap

Kontroversi bukan hanya karena ucapannya, tetapi karena publik merasa kualitas gizi dan keamanan pangan anak sedang diremehkan. Pernyataan ini mencerminkan masalah lebih besar: sistem MBG belum mengalokasikan peran profesional secara memadai.

Jika guru atau relawan dipaksa menjadi “ahli gizi dadakan”, risiko yang muncul adalah:

  • Menu yang tidak tepat
  • Porsi tidak sesuai
  • Potensi keracunan meningkat
  • Anak tidak menghabiskan makanan
  • Kualitas program tampak buruk di mata publik

Inilah yang membuat ahli gizi marah, bukan tentang harga diri profesi, tetapi tentang keselamatan anak.

Integrasi Ahli Gizi: Pondasi Program yang Berkelanjutan

Agar MBG berhasil, peran ahli gizi harus diintegrasikan dalam:

  1. Penyusunan menu nasional
  2. Pelatihan petugas dapur
  3. Pengecekan kualitas bahan
  4. Edukasi keamanan pangan
  5. Evaluasi menu di daerah
  6. Pencegahan risiko keracunan

Di sinilah pemasok bahan pangan seperti Rbiz bisa berperan mendukung sistem. Dengan menyediakan bahan berkualitas, terstandar, dan aman dari hulu, ahli gizi dapat bekerja dengan lebih efektif tanpa terbebani masalah kualitas bahan di tingkat awal. Kolaborasi antara ahli gizi dan penyedia pangan berkualitas membuat MBG lebih stabil, aman, dan mudah diawasi.

Kesimpulan

Ahli gizi bukan sekadar penyusun menu, mereka adalah penjaga keamanan pangan, arsitek gizi, dan pengendali risiko dalam skala besar. Pekerjaan mereka tidak selalu terlihat oleh publik, tapi dampaknya langsung terasa pada kesehatan anak. Kontroversi tentang “tak perlu ahli gizi” justru menjadi momentum untuk membuka mata bahwa MBG membutuhkan tenaga profesional yang kompeten, sistem yang solid, dan bahan pangan berkualitas dari hulu.

Dengan melibatkan ahli gizi secara penuh dan memperkuat kerja sama dengan penyedia bahan berkualitas seperti Rbiz, program MBG dapat berjalan lebih aman, lebih sehat, dan lebih dipercaya publik, bukan hanya hari ini, tetapi untuk masa depan anak-anak Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *