Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) baru-baru ini mengungkap fakta yang mengundang perhatian publik, banyak anak enggan menghabiskan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sebagian menu yang disediakan tersisa, bahkan tak sedikit yang dibuang begitu saja. Fenomena ini langsung menimbulkan pertanyaan, apakah masalahnya ada pada anak, atau justru pada sistem yang menjalankan program ini?
Kehadiran MBG sejatinya dimaksudkan sebagai langkah besar pemerintah untuk memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan bergizi demi tumbuh menjadi generasi sehat dan cerdas. Namun, di lapangan, penerapannya ternyata tidak semudah di atas kertas. Anak-anak mungkin tidak menolak makan gratis, tetapi bagaimana jika menu yang disajikan tidak sesuai dengan selera, tekstur, atau kebiasaan makan mereka? Inilah tantangan sejati yang sering kali luput dari perbincangan publik.
Mengapa Jam Masak MBG Sama Pentingnya Dengan Resep?

Fenomena Menu MBG yang Tak Habis
Data KPAI menunjukkan sebagian besar anak tidak menghabiskan makanan MBG karena alasan sederhana, tidak enak, tidak sesuai selera, atau sudah dingin ketika disajikan. Sekilas, hal ini tampak sepele. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, fakta ini menunjukkan adanya ketimpangan antara desain program dan realitas di lapangan.
Bagi anak-anak, makan bukan hanya soal kebutuhan gizi, tapi juga soal rasa, kebiasaan, dan suasana. Mereka akan lebih mudah menerima makanan yang akrab di lidah dengan nasi hangat dan lauk khas daerah, bukan menu yang terasa asing atau hambar. Ketika makanan disajikan tanpa sentuhan rasa lokal, sulit mengharapkan mereka menghabiskannya, apalagi menikmatinya.
Program MBG perlu memahami satu hal penting makan bergizi bukan hanya soal isi piring, tapi juga pengalaman di meja makan.
Di Antara Gizi dan Selera: Mengapa Anak Tak Suka Menunya?
Kecenderungan anak-anak tidak menghabiskan menu MBG sering dianggap tanda kurangnya disiplin atau rasa syukur. Padahal, masalahnya jauh lebih kompleks. Program ini memang berfokus pada kandungan gizi yang seimbang, tetapi jarang memperhatikan sisi psikologis dan budaya rasa anak-anak.
Misalnya, sayur yang terlalu hambar, ikan yang disajikan tanpa sambal, atau lauk yang terlalu keras. Di sisi lain, anak-anak terbiasa dengan cita rasa kuat dari rumah masing-masing. Maka, ketika di sekolah mereka menerima makanan yang “berbeda”, muncul resistensi alami.
Penting diingat bahwa edukasi gizi tidak bisa dilakukan hanya lewat angka nutrisi, tapi juga lewat pengalaman rasa yang menyenangkan. Jika anak-anak dikenalkan pada makanan sehat dengan cara yang menyenangkan, misalnya lewat kegiatan mencicipi bersama, cerita tentang manfaat bahan makanan, atau menu khas daerah mereka rasa ingin tahu dan penerimaan mereka akan meningkat.
Rantai Distribusi dan Kualitas Rasa
Salah satu penyebab lain mengapa menu MBG sering tidak dihabiskan adalah rantai distribusi yang terlalu panjang. Makanan yang dimasak pagi hari bisa baru sampai ke sekolah beberapa jam kemudian. Akibatnya, tekstur nasi menjadi keras, lauk kehilangan aroma segar, dan sayur sudah layu.
Di sinilah peran sistem penyedia bahan pangan dan logistik menjadi sangat penting. Ketika bahan baku yang digunakan berkualitas dan sistem distribusi terkelola dengan baik, rasa makanan bisa tetap terjaga.
Beberapa penyedia bahan pangan seperti RBiz telah mulai menerapkan pendekatan “quality control berbasis rantai dingin” (cold chain system). Artinya, bahan pangan tetap dijaga kesegarannya sejak keluar dari gudang hingga sampai ke dapur sekolah. Dengan sistem seperti ini, cita rasa alami bahan makanan dapat bertahan lebih lama dan nutrisi tetap terjaga.
Selain itu, RBiz juga memperkenalkan pelatihan sederhana untuk dapur sekolah agar tahu cara mengolah bahan bergizi tanpa menghilangkan rasa khas lokal. Langkah-langkah kecil seperti inilah yang bisa membantu menjaga keseimbangan antara gizi, rasa, dan kebersihan.

Edukasi, Bukan Sekadar Pemberian Makan
Masalah menu yang tak habis sebenarnya mencerminkan satu hal anak-anak belum benar-benar paham makna makan bergizi. Program MBG akan sulit berhasil jika hanya berhenti pada tahap pemberian makanan. Ia harus menjadi bagian dari edukasi kebiasaan makan sehat.
Guru dan sekolah punya peran penting di sini. Setiap menu bisa menjadi alat belajar tentang asal bahan, manfaat gizi, bahkan cara menghargai makanan. Anak-anak akan lebih mudah menghabiskan makanannya jika mereka tahu mengapa harus melakukannya.
Selain itu, melibatkan komunitas lokal seperti ibu-ibu dapur, pedagang pasar, hingga pelaku UMKM pangan dapat memperkuat rasa memiliki terhadap program ini. Ketika masyarakat merasa menjadi bagian dari solusi, kualitas menu dan kedisiplinan anak akan meningkat secara alami.
Kesimpulan
Fenomena anak-anak tidak menghabiskan menu MBG tidak bisa dianggap sekadar masalah perilaku atau pemborosan. Ini adalah cermin bahwa sistem penyusunan dan pelaksanaan program masih perlu diperbaiki.
Program sebesar MBG harus mempertemukan antara gizi yang tepat, rasa yang diterima, dan sistem distribusi yang efisien. Rasa hambar bukan semata kesalahan dapur, melainkan hasil dari sistem yang belum sepenuhnya memahami kebutuhan penerimanya.
Dengan mengutamakan bahan berkualitas, distribusi yang efisien, serta pendekatan edukatif yang menyentuh anak-anak, MBG bisa benar-benar menjadi program yang mendidik, bukan sekadar membagi makanan.
Dan di sinilah peran sektor penyedia seperti RBiz menjadi relevan menghadirkan bahan pangan yang aman, segar, dan sesuai kebutuhan gizi anak Indonesia, agar setiap suapan dari program MBG benar-benar berarti.
