Penundaan Pajak Pedagang Online: Napas Lega atau Sekadar Jeda Bagi UMKM Digital?

Pada akhir September 2025, Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa mengumumkan penundaan penerapan pajak pedagang online di marketplace. Kebijakan ini semula dijadwalkan mulai berlaku 14 Juli 2025, tetapi tertunda karena pengaruh kondisi ekonomi dan sorotan publik.

Bagi sebagian UMKM digital, keputusan ini terasa seperti angin segar. Namun, di balik itu tersimpan tantangan yang bisa memengaruhi daya saing, kepastian usaha, dan kesiapan administrasi mereka dalam jangka panjang. Bagi sebagian pedagang, keputusan tersebut terasa seperti napas lega. Namun, tak sedikit yang menilai ini hanya jeda singkat sebelum beban baru benar-benar hadir.

Baca juga
Mengurai Dampak Pembatasan Gratis Ongkir: Mampukah UMKM Bertahan?

Pajak Pedagang Online dan Peraturan yang Direncanakan

Untuk memahami dampaknya, kita perlu tahu dulu kerangka regulasi yang direncanakan. Menurut pemerintah, melalui PMK No. 37 Tahun 2025, marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 final sebesar 0,5 % dari omzet bagi pedagang online yang omzetnya berada dalam rentang Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun.

Namun, tidak semua pedagang otomatis dipungut. Pedagang orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta dapat menyampaikan surat pernyataan bahwa omzetnya belum melewati ambang tersebut agar tidak dipungut PPh 22 oleh marketplace. Surat pernyataan dapat disampaikan bersamaan dengan informasi lain, berupa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan alamat korespondensi.

Penundaan kebijakan ini dilakukan bukan karena sistem belum siap (Kemenkeu menyatakan sistem administrasi DJP sudah siap) melainkan karena pertimbangan ekonomi dan resistensi publik atas beban baru di tengah kondisi yang belum pulih sepenuhnya.

Dampak Positif Ruang Adaptasi bagi Pedagang Online & UMKM Digital

Bagi banyak pedagang online, administrasi keuangan masih sederhana atau bahkan “di luar kepala”. Penundaan pajak memberi waktu untuk membangun sistem pencatatan, pembukuan, dan arus kas yang lebih rapi agar saat kebijakan benar-benar berjalan, mereka tak terkejut.

Marketplace dan penyedia layanan keuangan digital pun bisa memanfaatkan waktu ini untuk mengintegrasikan fitur akuntansi, laporan omzet, dan fitur dukungan pajak agar pedagang lebih siap.

Jika pajak 0,5 % langsung diambil dari omzet, sebagian pedagang khawatir pendapatan bersih mereka akan tergerus, terutama pada margin yang tipis. Dengan penundaan, ada jeda agar kondisi ekonomi pulih, daya beli membaik, dan persaingan pasar tak menjadi beban tambahan.

Selain itu, keputusan menunda juga menekan potensi gejolak sosial dan ketidakpastian bisnis. Pedagang yang takut kebijakan tiba-tiba diterapkan bisa lebih tenang sementara, dan dialog bersama antara pemerintah, asosiasi e-commerce, dan UMKM bisa terus dibuka. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menyambut penundaan ini sebagai bentuk respons pemerintah terhadap masukan pelaku usaha

Ancaman & Tantangan yang Muncul dari Penundaan Pajak

Meskipun membuka ruang bernapas, penundaan tidak memadamkan sejumlah risiko nyata di antaranya:

1. Kepatuhan dan Literasi Pajak yang Rendah

    Banyak pelaku usaha online memiliki pemahaman minim tentang ketentuan perpajakan digital. Penelitian di Medan menunjukkan tingkat pemahaman pelaku e-commerce terhadap regulasi perpajakan masih rendah.

    Ketika pajak benar-benar diberlakukan, sebagian pedagang bisa kebingungan, salah pelaporan, atau bahkan menghindar (non-compliance) karena kurang persiapan.

    2. Ketimpangan Antara Usaha Besar dan Kecil

    Pedagang yang sudah menggunakan sistem keuangan digital dan memiliki tim administrasi, akan lebih mudah adaptasi. Sementara pedagang kecil yang masih manual bisa tertinggal, yang memperlebar gap kompetitif dalam ekosistem e-commerce.

    3. Pengurangan Insentif Untuk Registrasi Formal

    Jika pemungutan langsung melalui marketplace ditunda terlalu lama, banyak pelaku usaha kecil bisa memilih tetap “berada di informal” tidak mendaftar NPWP, tidak melaporkan omzet, agar tidak dikenai beban pajak di masa depan. Penundaan bisa membuat motivasi formalitas melemah.

    4. Ketidakpastian Kebijakan dan Efek Psikologis

    Penundaan bisa menjadi preseden bahwa kebijakan perpajakan digital mudah ditunda kapan saja, sehingga pelaku usaha menjadi tidak yakin kapan beban benar-benar diterapkan. Ketidakpastian semacam ini membuat mereka enggan berinvestasi pada sistem penunjang seperti aplikasi pajak atau ERP kecil.

    Rekomendasi Agar Penundaan Menjadi Momentum Perbaikan

    Penundaan tanpa pemanfaatan strategis bisa sia-sia. Untuk itu, berikut rekomendasi agar dampak positif bisa lebih besar dan resiko diminimalkan:

    1. Program Edukasi & Pendampingan Pajak Digital

    Pemerintah dan DJP perlu menggencarkan pelatihan literasi pajak khusus UMKM digital, beberapa cara diantaranya, yakni cara menghitung PPh Final 0,5 %, bagaimana membuat pembukuan sederhana, dan cara menggunakan sistem daring DJP, dsb.

    2. Insentif Teknologi atau Aplikasi Pembukuan Terjangkau

    Diberikan subsidi, insentif atau kerja sama dengan startup akuntansi digital agar pedagang kecil bisa memakai sistem pembukuan otomatis dengan biaya ringan. Platform e-commerce bisa memasukkan modul laporan keuangan dan pajak dalam dashboard mereka.

    3. Fase Transisi Bertahap

    Penerapan tidak harus langsung penuh. Bisa dimulai dengan pilot project di kota tertentu atau segmen pedagang tertentu, kemudian dievaluasi sebelum diterapkan nasional.

    4. Keterbukaan Data & Dialog Publik

    Pemerintah harus terbuka dalam komunikasi mengenai potensi penerimaan pajak dari perdagangan digital, peta pelaku usaha, dan model kebijakan. Asosiasi e-commerce dan lembaga UMKM harus dilibatkan secara aktif sehingga kebijakan terasa milik bersama.

    5. Sanksi & Kepastian Waktu Penerapan

    Penundaan tidak boleh berlangsung terlalu lama tanpa kepastian kapan pajak akan diberlakukan. Perlu ada batas waktu tegas agar pedagang tidak terus menunggu dan justru malas bersiap.

    Kesimpulan

    Penundaan pajak pedagang online bukanlah kekalahan atau mundur total. Bagi banyak UMKM digital, ini merupakan kesempatan agar bisa berpacu menghadapi regulasi dengan lebih kuat, bukan terjebak pada beban administratif mendadak.

    Sebagai catatan, jika waktu penundaan ini tidak diiringi dengan pendampingan, edukasi, dan kemudahan teknis, maka kebijakan ketika dilaksanakan bisa menjadi beban besar, bukan beban ringan yang dijanjikan.

    Bagi para pedagang online, penundaan ini bisa dimanfaatkan untuk menyelaraskan pencatatan keuangan, memahami regulasi pajak baru, dan mempersiapkan sistem agar ketika kebijakan benar-benar berlaku, mereka tidak jadi “korban aturan baru”

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *