India Dilibatkan di MBG: Langkah Strategis atau Blunder Citra?

Pemerintah Indonesia baru-baru ini membuka peluang kerja sama dengan India dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Wacana ini sontak menarik perhatian publik. Di satu sisi, India dikenal memiliki pengalaman panjang dalam menjalankan program makan massal di sekolah. Namun di sisi lain, media sosial ramai memperbincangkan citra kebersihan India yang dianggap buruk, bahkan tak jarang dijadikan bahan candaan di internet.

Pertanyaannya pun banyak bermunculan, apakah menggandeng India merupakan langkah strategis atau justru bisa menjadi blunder citra bagi MBG yang tengah dibangun dengan serius?

MBG Indonesia Lebih Cepat dari Brasil, Tapi Apakah Lebih Siap?

India dalam Peta Diplomasi Pangan Indonesia

Sejak MBG digagas, pemerintah berupaya mencari referensi internasional untuk memperkuat sistem distribusi, efisiensi biaya, dan pengelolaan pangan massal. India menjadi salah satu negara yang dilirik karena keberhasilan menjalankan Mid-Day Meal Scheme yang merupakan program makan siang gratis bagi lebih dari 100 juta anak sekolah setiap hari.

Dari sisi pengalaman, India jelas unggul. Mereka mampu mengatur suplai bahan pangan, tenaga masak, dan sistem distribusi yang masif dengan anggaran terbatas. Skala logistik seperti itu tentu menarik bagi Indonesia yang sedang menyiapkan MBG untuk puluhan juta siswa.

Namun, pilihan ini tak bisa dilepaskan dari dimensi diplomasi. Kerja sama dengan India bukan hanya soal makanan, tetapi juga sinyal hubungan strategis antarnegara berkembang. Indonesia tampak ingin belajar dari negara yang sudah berpengalaman menghadapi tantangan serupa, yakni gizi anak, logistik pangan, dan keterbatasan anggaran.

Efisiensi dan Pengalaman: Alasan di Balik Pilihan India

Alasan utama pelibatan India dalam MBG adalah efisiensi dan pengalaman logistik. India berhasil membangun jaringan dapur umum (central kitchen) yang mampu menyiapkan jutaan porsi makanan setiap hari dengan biaya rendah. Mereka memanfaatkan teknologi data, sistem suplai lokal, dan model sosial yang melibatkan komunitas sekitar sekolah.

Dalam konteks Indonesia, pengalaman India bisa menjadi contoh bagaimana menekan biaya tanpa menurunkan kualitas gizi. Misalnya, integrasi dapur regional untuk beberapa sekolah sekaligus atau penggunaan bahan lokal dengan sistem rotasi pasokan harian.

Namun, efisiensi yang tinggi sering kali datang dengan kompromi tertentu. Dalam kasus India, beberapa wilayah memang pernah menghadapi kritik terkait kebersihan dapur, penyimpanan bahan, dan keamanan pangan. Beberapa tahun lalu, bahkan sempat muncul kasus keracunan massal di sekolah akibat makanan terkontaminasi. Ini menunjukkan bahwa efisiensi logistik harus berjalan seiring dengan standar higienitas yang ketat.

Citra Publik: Ketika Persepsi Menjadi Tantangan Kebijakan

Di era digital, persepsi publik bisa menentukan nasib kebijakan. Meski pemerintah berniat baik menggandeng India karena pengalamannya, sebagian masyarakat justru merespons dengan keraguan. Di media sosial, banyak konten viral yang menampilkan dapur atau cara memasak khas India dengan citra yang dianggap “jorok” atau tidak higienis.

Citra ini, meski tidak sepenuhnya benar, bisa membentuk collective perception yang sulit diubah. Publik Indonesia yang baru belajar mempercayai sistem MBG bisa mempertanyakan, “mengapa kita belajar dari negara yang dianggap tak bersih?”

Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks. India memiliki sistem kebersihan yang terus dibenahi, dengan audit keamanan pangan yang semakin ketat. Tapi di era algoritma, yang viral lebih sering menang daripada yang faktual. Persepsi ini menjadi risiko serius jika tidak diantisipasi dengan komunikasi publik yang cerdas.

Risiko Citra vs Manfaat Strategis

Dari sisi strategis, kerja sama ini bisa memperkuat sistem logistik MBG, mempercepat pembelajaran, dan menghemat biaya negara. Namun dari sisi citra, langkah ini rawan disalahpahami publik. Pemerintah perlu memastikan bahwa kerja sama tidak menyentuh aspek penyediaan langsung makanan, melainkan hanya transfer pengetahuan dan sistem.

Sebab, sekali isu kebersihan melekat pada program MBG, kepercayaan publik bisa menurun drastis. MBG adalah program yang menyentuh perut dan anak-anak dua hal yang sangat sensitif di mata masyarakat.

Dalam kebijakan publik, persepsi bisa sama pentingnya dengan realitas. Di sinilah keseimbangan perlu dijaga antara manfaat efisiensi dan risiko citra yang bisa menggerus legitimasi.

Membangun Narasi Baru: Transparansi dan Komunikasi Publik

Untuk menghindari kesalahpahaman, pemerintah harus membangun narasi baru tentang kerja sama ini. Penjelasan terbuka mengenai bentuk kolaborasi, peran India, dan standar higienitas yang dijaga mutlak diperlukan.

Pemerintah bisa menekankan bahwa yang diadopsi bukan budaya dapur India, melainkan sistem efisiensi distribusi dan manajemen logistik pangan. Edukasi publik perlu diperkuat agar masyarakat memahami perbedaannya.

Di sinilah peran mitra seperti Rbiz bisa menjadi pembanding sekaligus solusi lokal. Sebagai penyedia bahan pangan berkualitas yang telah menerapkan sistem digital dan standar higienitas ketat, Rbiz menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki kapasitas membangun rantai pasok sendiri tanpa harus sepenuhnya bergantung pada negara lain.

Model seperti Rbiz bahkan bisa menjadi contoh nyata bahwa efisiensi dan kebersihan bisa berjalan beriringan, dengan teknologi sebagai penghubungnya.

Kesimpulan

Menggandeng India dalam pengembangan MBG bukan langkah yang salah, selama pemerintah tahu batas dan arah kerja samanya. Pengalaman India dalam manajemen logistik pangan memang luar biasa, tetapi tantangan citra tidak bisa diabaikan.

Keberhasilan MBG bukan hanya soal berapa juta anak yang mendapat makan, tetapi juga seberapa besar kepercayaan publik yang berhasil dijaga. Dalam kebijakan pangan, transparansi dan komunikasi publik menjadi kunci.

Karena di era media sosial, citra bisa menyebar lebih cepat daripada data dan sekali persepsi negatif terbentuk, butuh waktu lama untuk memperbaikinya. Maka, jika kerja sama ini memang strategis, biarlah publik juga diajak memahami bahwa efisiensi tidak harus mengorbankan citra, dan belajar tidak berarti meniru secara buta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *